Romantisme Kesultanan Amaika Dan Akar Sebab Kariu Tidak Memiliki Ulayat Di Pulau Haruku; Sebuah Catatan Kritis Menurut Historiografi Aboru
Oleh: Kamal Hua Kinar MATCAN.ID AMBON– Pertama-tama, Kariu adalah pendatang dari Pulau Seram dan bukan bagian dari dua Uli yang berkuasa di Pulau Haruku, yakni Uli Buang Besi di bagian selatan dan Uli Hatuhaha di bagian utara. Kariu pertama ada di Pulau Haruku menurut historiografi Aboru adalah ketika terjadi tragedi Amaika. Alkisah diceritakan bahwa Amaika adalah sebuah kota Islam di bagian selatan Pulau Haruku, beberapa mil jarak kearah selatan dari Gunung Huruwano (Tanita Uruwane) dan di atas negeri Aboru sekarang. Amaika dipimpin oleh seorang Sultan bernama Suria Samar Tua Sinay. Pada abad 14 kota ini dihancurkan oleh aliansi pasukan pimpinan Kapitan Tua Saiya (dari Wae Tui, Pulau Seram) Kapitan Nahumury (keturunan Lohuputiya Nawihi dari Madura), Kapitan Rusi dan Kapitan Tubaka (dari Negeri Hualoy Pulau seram) serta Kapitan Hatu Supi (Negeri Booi Pulau Saparua). Pasukan Kariu di bawah pimpinan Tua Salay datang terlambat ketika perang atau tepatnya pembantaian keluarga Sultan dan rakyat Amaika telah selesai. Dikisahkan Pembantaian Amaika terjadi lantaran masalah sepele terkait “kebaperan anak muda”. Tua Saiya begitu terpana dan jatuh cinta kepada seorang gadis Amaika yang cantik rupawan. Cinta yang tidak kesampaian lantaran ayah si wanita, Sang Sultan Amaika tidak merestuinya. Tersinggung lantaran hal tersebut, Tua Saiya yang aslinya pendatang dari Wae Tui di Pulau Seram dengan gelar Latu Malesi Halawan Tuni Tua Saiya mengumpulkan kekuatan tempur untuk menghancurkan Amaika. Luar biasa. Di sinilah genealogi aliansi BAKH (Booi, Aboru, Kariu, Hualoy) bermula. Singkat cerita, setelah konsolidasi berhasil, pasukan dari Booi, Hualoi dan Aboru berhasil membantai Sultan beserta keluarganya dan melenyapkan Amaika di suatu subuh yang kejam, diabadikan dalam kapata Aboru berbunyi: riti-riti sobo/ sobo riti hola-hola/ hola roto rita bidadari. Karena pasukan Kariu tidak ikut bertempur akibat terlambat, maka Kariu diberi pampasan perang berupa seorang putri bungsu Sultan yang gagal bersembunyi dari maut. Sementara putri sulung Sultan beserta segenap sejarah Amaika tamat riwayat pada pagi itu. Selain pasukan Kariu, tiga pasukan lainnya masing-masing membawa pulang pampasan perang. Aboru mengambil kubah masjid dan pampasan lainnya, Booi mengambil lonceng dan harta lainnya, demikian dengan Hualoy mengambil bagiannya. Diceritakan bahwa pasca peristiwa Amaika, setelah Aboru menerima kekristenan (abad 16 ketika masuk Portugis dan abad 17 ketika masuk Belanda), kubah masjid pampasan perang Amaika kemudian dihanyutkan oleh orang Aboru ke laut menggunakan rakit. Negeri Booi tidak bersedia menerima kubah masjid karena mereka pun telah menerima kekristenan. Maka rakit tersebut hanyut menurut tuturan diantarkan sekawanan burung diiringi bunyi tifa tanpa ada orang yang menumpangi rakit tersebut menuju pesisir selatan Pulau Seram tepat di depan Negeri Hualoy.