Romantisme Kesultanan Amaika Dan Akar Sebab Kariu Tidak Memiliki Ulayat Di Pulau Haruku; Sebuah Catatan Kritis Menurut Historiografi Aboru
Yang bungsu dari keturunan Hatua Tua Sinay bernama Tua Sinay, seorang lelaki yang memutuskan berhijrah ke negeri Buria di Seram Bagian Barat. Keempat Tua Sinay bersaudara di Aboru ini pada awalnya sama-sama membangun tiga kota di petuanan hutan Aboru, yaitu Kota Amaika, Aman Iwa (Ami Uwa) dan Aman Huhui. Seiring berjalannya waktu terjadi perpecahan diantara mereka, terutama Latu Kohurupan Tua Sinay dan Patina Pasala Tua Sinay terhadap saudara tertua mereka Suria Samar Tua Sinay yang menjadi Sultan Amaika. Latu Kohurupan pindah ke Aman Huhui, sementara Patina Pasala bergeser ke Aman Hatua lalu berpindah ke Tanita Uruwane (Gunung Huruwano). Adik bungsu mereka mengambil jalan ke Buria, Pulau Seram. Terjadinya oposisi terhadap Sultan Amaika disponsori oleh pihak pendatang, yaitu Tua Saiya dari Wae Tui Pulau Seram, yang punya dendam pribadi “tagal” kecewa cinta tidak direstui, mengajak komplotan pendatang dari negeri Hualoi Pulau Seram (Tubaka dan Rusi) serta Hatu Supi dari negeri Booi Pulau Saparua dan Tua Salay (Kariu) dari wilayah Teluk Elpaputih (Pulau Seram). Sebagaimana digambarkan kejatuhan kesultanan Amaika akibat konspirasi jahat dari kaum pendatang di atas, pasca periode Amaika komunitas Kariu menjadi kaum nomaden di Pulau Haruku karena tidak memiliki hak milik atas ulayat apapun. Mereka awalnya tinggal di wilayah Aboru. Kemudian pada abad 17 ketika VOC membangun loji kayu di Pelauw dan selanjutnya dibangun benteng permanen bernama Fort Niew Hoorn, atas kesepakatan dengan Belanda maka Raja Pelauw bernama Upu Latu Marawakan Latupono menurunkan komunitas Kariu dari hutan Aboru dan ditempatkan di negeri Pelauw, persis di sebelah benteng Fort Niew Hoorn, dengan tujuan melayani pihak kompeni Belanda dalam soal berburu hewan yang diharamkan oleh masyarakat Islam Hatuhaha khususnya Pelauw. Pada tahun 1933 terjadi insiden penembakan warga Pelauw oleh orang Kariu dan keadaan kacau tak terkendali sehingga atas persetujuan Raja Pelauw, komunitas Kariu direlokasi ke sebelah timur dari Negeri Pelauw di seberang sungai Wae Marike’e, pada sebidang lahan milik Pelauw. Keberadaan mereka di sana hanya sekedar hak pakai dan bukan hak milik. Bagaimana mungkin kelompok kecil pendatang dari Seram yang tidak termasuk dalam Uli Hatuhaha bisa memiliki hak ulayat di wilayah Hatuhaha? Begitulah komunitas Kariu, menempati sebuah enclave kecil di jazirah Hatuhaha. Sebelah barat berbatasan dengan Pelauw pada Wae marake’e dan sebelah timur dengan Dusun Ory (Pelauw) pada sebuah kali mati. Batas selatan pun mereka hanya diperbolehkan menggarap lahan beberapa hektar saja. Kesimpulan dari catatan kritis berdasarkan historiografi Aboru dan analisis terkini dapat disajikan sebagai berikut:
Sejak mula-mula, Pelauw dan Aboru adalah pemilik ulayat di Pulau Haruku diantara dua pemilik ulayat lainnya, karena mereka adalah bersaudara dan keturunan dari penghuni pertama di Pulau Haruku bernama Upu Latu Ume.
Kariu tidak memiliki hak ulayat apapun di Pulau Haruku karena Kariu adalah kelompok kecil pendatang dari Teluk Elpaputih di Pulau Seram. Kehadiran Kariu hanya pada saat terjadi penghancuran berencana sebuah komplotan pendatang dari Pulau Seram (Tua Saiya, Rusi, Tubaka) dan Pulau Saparua (Hatu Supi) atas sebuah kesultanan Islam bernama Amaika di wilayah Aboru masa lalu.
Pimpinan Kariu pun pada saat itu (Tua Salay) tidak ikut bertempur karena datang terlambat. Usai tragedi genosida Amaika, para penyerang dari Seram (Tubaka dan Rusi) dan Saparua (Hatusupi dari Booi) kembali ke negerinya masing-masing, sementara Kariu menjadi kelompok nomaden di wilayah Aboru di selatan Pulau Haruku, sampai kemudian diturunkan oleh Raja Pelauw pada abad ke 17 ke pesisir utara Pulau Haruku tepatnya di sisi benteng Fort Niew Hoorn dalam rangka pengabdian kepada kompeni Belanda.
Klaim kelompok atau kasta Kariu bahwa mereka memiliki ulayat di Pulau Haruku khususnya di wilayah Hatuhaha dan arogansi mereka untuk tidak mengakui eksistensi Pelauw dengan wilayah ulayatnya adalah sebuah cerita hoax yang tidak berdasar.