Politik dinasti dan oligarki. Maraknya keluarga pejabat dan elite politik yang mengadu nasib dan ikut berlaga dalam Pilkada ini menuai kritik. Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Maruf Amin, serta sejumlah elite politik dituding sedang membangun politik dinasti. Para elite politik ini dituduh hendak melanggengkan kekuasaan dengan melibatkan anggota keluarganya meraih jabatan dan posisi strategis di negeri ini. Meski setiap orang berhak untuk terlibat dalam politik, termasuk menduduki jabatan publik, namun praktik politik dinasti ini tetap dikritik. Pasalnya, praktik ini menyebabkan menguatnya personalisasi politik dan lemahnya kapasitas negara dan institusi politik. Karena, proses pengambilan keputusan tidak lagi didasarkan pada kepentingan publik dan rasionalitas namun berdasarkan keputusan individual dari para kerabat yang berkuasa. Sejumlah kasus korupsi seperti di Banten, Kutai Kartanegara, Cimahi, dan Klaten yang melibatkan kekerabatan menjadi bukti buruknya praktik politik dinasti. Proses pengawasan dan mekanisme demokrasi mati di kaki politik dinasti. Praktik politik seperti ini pada akhirnya akan mengancam demokrasi yang diperjuangkan setengah mati saat reformasi. Politik dinasti yang mengangkangi meritokrasi ini pada akhinya bisa berujung pada oligarki. Karena, berbagai keputusan dan pengambilan kebijakan akan ditentukan segelintir orang. Politik oligarki akan menutup ruang partisipasi publik dan menggerus pelembagaan institusi politik. Oligarki akan bekerja di ruang senyap, tertutup, dan hanya melibatkan segelintir elite. Pada akhirnya, negara hanya menjadi urusan segelintir orang. Peta politik 2024.