Lemahnya Hukum dan Kesepakatan Damai Yang Dipaksakan
Dari sekian banyak pertemuan ini, negeri pelauw menuntut banyak hal termasuk ganti rugi atas penebangan 6000 lebih pohon cengkih dan pala yang menjadi sumber kehiudpan masyarakat pelauw, tuntutan terhadap warga kariu untuk meminta maaf secara terbuka melalui media kepada masyarakat pelauw atas pengrusakan situs keramat negeri pelauw, tuntutan pemulihan psikologi, pemulihan ekonomi dan hak keperdatan yang hingga saat ini belum ada satupun tuntutan dipenuhi oleh Negara. Padahal amanat Undang-undang ini jelas bahwa dalam penanganan konflik harus mencerminkan asas kemanusiaan, hak asasi manusia, mengacu pada bhineka tunggal ika, keadilan, kesetaraan gender, ketertiban, dan kepastian hukum. Juga mencerminkan keberlanjutan, kearifan lokal, tanggung jawab negara, partisipatif, tidak memihak, dan tidak membeda-bedakan. Sedangkan tujuan Penanganan Konflik Sosial, menurut Pasal 3 undang-undang ini, adalah menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Lalu memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Meningkatkan tenggang rasa dan toleransi, memelihara fungsi pemerintahan, melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum. Serta memberikan perlindungan dan pemenuhan hak korban, dan memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum. Hal ini tentunya menjadi point penting yang harus dilaksanakan oleh Negara dalam penanganan konflik sosial. Negara diharuskan bersikap profesional dalam menentukan kebijakan dengan melihat akar persoalan konflik. Tentunya sebagai warga Negara yang baik, kita wajib patuh terhadap kebijakan Negara. Akan tetapi, dalam hal pelaksanaan kebijakan terkait penangan konflik sosial, Negara harus menyelesaikan dulu persoalan dasar yang menjadi cikal bakal lahirnya konflik di masyarakat. Rekonsiliasi dan penandatangan kesepakatan damai antara Negeri Pelauw dengan Negeri Kariu yang dimediasi oleh Pemerinatah daerah pada senin, 14 November 2022 kemarin merupakan cara-cara Negara yang memaksakan kehendak masyarakat untuk hidup damai, berdampingan tanpa mengobati luka yang belum sembuh. Harusnya membangun pola hidup yang damai harus berawal dari mengatur pola pikir, cara bersikap, perilaku, karakter dan watak masyarakat, menyelesaikan persoalan psikologi masyarakat akibat konflik, membentuk mentalitas untuk siap hidup berdampingan juga dengan membangun tata kehidupan bersama bedasarkan nilai-nilai luhur beasaskan keadilan, kesetaraan dan demokrasi. Hal ini dapat dilakukan, melalui metode penyelesaikan akar permasalahan konflik yang terjadi di level masyarakat bawah (basis struktur), sedangkan pertemuan kemarin hanya melibatkan kelas menengah keatas (supra struktur). Sehingga masyarakat Negeri Pelauw (basis struktur) berani mengambil sikap untuk tetap menolak berdamai dengan kariu jika semua tuntutan yang menjadi akar persoalan konflik dan akibat konflik belum direalisasikan oleh Negara. Metode penanganan konflik sosial harus menyentuh ke dasar persoalan. Persoalan dasar konflik antara negeri Pelauw dan Negeri Kariu yang hingga saat ini belum terselesaikan oleh negara, yakni persoalan hak ulayat, persoalan keramat ua rual, persoalan tapal batas, dan persoalan pemulihan ekonomi serta ganti rugi. Hal ini harus terselesaikan lebih dulu, sehingga dapat menjadi presenden yang baik bagi pihak-pihak yang berkonflik. Sebab, jika Negara memaksa kehendak, dengan kebijakan memulangkan negeri Kariu ke tempatnya untuk hidup damai berdampingan dengan negeri Pelauw tanpa menyelesaikan segala tuntutan yang menjadi dasar konflik, maka ini adalah damai yang dipaksakan dan tentunya berpotensi melahirkan konflik baru. Damai harus benar-benar dirasakan serta lahir dari kedua Negeri yang bertikai. (MAHMUD TUASIKAL)