April 20, 2024

Kabar Ambon Kabar Maluku

Romantisme Kesultanan Amaika Dan Akar Sebab Kariu Tidak Memiliki Ulayat Di Pulau Haruku; Sebuah Catatan Kritis Menurut Historiografi Aboru

Singkat cerita Kubah masjid Amaika berpindah ke Hualoy. Ada catatan kritis terkait hal ini, dimana peristiwa Amaika diceritakan terjadi pada abad 14, namun kubah masjid dihanyutkan pada masa ketika Aboru dan Booi telah menjadi Kristen (abad 16 atau 17) sehingga muncul kejanggalan, apakah bisa sebuah kubah masjid dengan bahan seadanya bertahan selama dua abad?

Kembali ke kasta Kariu. Usai tragedi genosida Amaika, pasukan dari negeri Booi dan Hualoy kembali ke negerinya masing-masing. Kariu tetap bertahan di Pulau Haruku dengan nomaden pada petuanan milik Aboru. Diceritakan bahwa kekosongan wilayah Amaika menjadi celah bagi kasta Kariu menempati lokasi tersebut. Namun perlu dicatat, bahwa letak Amaika masih di sebelah selatan Tanita Uruwane alias Gunung Guruwano.

Dengan demikian maka otomatis wilayah jelajah dari nomadisme Kariu masih seputaran wilayah kekuasaan Aboru di bagian selatan Pulau Haruku. Pertanyaan kemudian adalah, mengapa Kariu bisa ada di pesisir utara Pulau Haruku? Sebelum menjawab pertanyaan ini, marilah kita lihat manusia pertama di Pulau Haruku versi historiografi orang Aboru.

Alkisah, Pulau Haruku pada masa lampau bernama Nusa Hatu Ha’a (Nusa: pulau, Hatu: batu, Ha’a: empat), dihuni oleh manusia pertama bernama Upu Latu Ume dengan istrinya, bermukim di Tanita Uruwane (Gunung Huruwano, gunung tertinggi di Pulau Haruku). Latu Ume memiliki empat anak laki-laki dan mereka berempat diberi kuasa wilayah atas Pulau Haruku, yaitu yang tertua bernama Nusa Huhui Tua Sinay (timur ke selatan), kemudian yang kedua adalah leluhur dari Raja Pelauw yang berkuasa atas wilayah barat ke utara, ketiga adalah leluhur dari penguasa negeri Oma dan terakhir leluhur dari negeri Rohomoni.

Keempat anak dari Latu Ume ini adalah tungku kekuasaan ulayat pertama di Pulau Haruku. Pelauw dan Aboru adalah dua diantara empat tungku awal pemilik ulayat sekaligus mereka bersaudara. Oleh karena perkembangan keturunan seiring pergantian zaman, maka keturunan Nusa Huhui Tua Sinay sebagai moyangnya orang Aboru bergeser pemukimannya dari Tanita Uruwane ke arah selatan pada sebuah lokasi bernama Aman Hatua. Di sini hiduplah keturunan mereka bernama Hatua Tua Sinay yang kemudian menurunkan empat anak laki-laki, pertama: Suria Samar Tua Sinay (muslim, menjadi Sultan Amaika), kedua Kohurupan Tua Sinay, ketiga Patina Pasala Tua Sinay dan keempat adalah Tua Sinay.

Patina Pasala Tua Sinay diistilahkan memiliki dua wajah dan berekor. Legenda kapitan berwajah dua di Amarima Hatuhaha khususnya Pelauw dikenal dengan nama “kapitan uwa ruwa” artinya kapitan berwajah dua. Ada yang mengira secara harfiah orang tersebut memiliki dua wajah, namun lebih tepatnya “uwa rua” adalah kiasan bagi seseorang yang memiliki tabiat “bermuka dua” alias tidak bisa dipercaya.

Kapitan Uwa Ruwa dalam sebuah pertempuran menghadapi balatentara Amarima Hatuhaha, berhasil terbunuh oleh dua Panglima Perang sekaligus ulama Islam dari Pelauw yang menurunkan marga Tuasikal dan Talaohu, tepat pada lokasi bernama Wai Ela Uwei yang kemudian secara populer dinamai dengan lokasi “Dusun Uwa Rual”, sebuah artefak sejarah kemenangan tentara Amarima Hatuhaha dalam peperangan Uri Syiwa yang menewaskan sang “Uwa Rua”.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *